A.
Warisan
Di dalam hukum syariah, yang namanya warisan hanya dibagi-bagi manakala ada seseorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta yang punya nilai nominal. Harta tersebut kemudian dibagi kepada ahli warisnya dengan ketentuan pembagian langsung dari langit. Bukan hasil rekayasa dan pendekatan logika manusia. Di dalam Al Qur’an, Pembagian warisan telah dicantumkan secara jelas dalam Surat An-Nisa’ ayat 11 dan 12 (penjelasan mengenai pembagian hak waris dalam Islam akan dibahas dalam tulisan berikutnya). Agama Islam tidak pernah mengenal seseorang yang masih hidup segar bugar membagi-bagi hartanya kepada ahli warisnya. Karena syarat terjadinya waris yang pertama kali adalah meninggalnya seseorang yang hartanya akan dibagi waris.
Di dalam hukum syariah, yang namanya warisan hanya dibagi-bagi manakala ada seseorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta yang punya nilai nominal. Harta tersebut kemudian dibagi kepada ahli warisnya dengan ketentuan pembagian langsung dari langit. Bukan hasil rekayasa dan pendekatan logika manusia. Di dalam Al Qur’an, Pembagian warisan telah dicantumkan secara jelas dalam Surat An-Nisa’ ayat 11 dan 12 (penjelasan mengenai pembagian hak waris dalam Islam akan dibahas dalam tulisan berikutnya). Agama Islam tidak pernah mengenal seseorang yang masih hidup segar bugar membagi-bagi hartanya kepada ahli warisnya. Karena syarat terjadinya waris yang pertama kali adalah meninggalnya seseorang yang hartanya akan dibagi waris.
B.
Hibah
Apabila ada orang yang masih hidup yang membagi-bagi hartanya, maka hal itu disebut hibah. Hibah adalah harta yang diberikan kepada pihak lain, baik ahli waris atau pun yang bukan ahli waris, berapa pun nilainya, semasa dia masih hidup. Konsekuensinya, pada saat pembagian itu pula harta tersebut sudah berpindah pemilik. Begitu dibagikan, harta hibah tersebut sudah bukan lagi milik yang memberi hibah, tetapi secara sah dan resmi telah menjadi milik orang yang diberi hibah.
Apabila ada orang yang masih hidup yang membagi-bagi hartanya, maka hal itu disebut hibah. Hibah adalah harta yang diberikan kepada pihak lain, baik ahli waris atau pun yang bukan ahli waris, berapa pun nilainya, semasa dia masih hidup. Konsekuensinya, pada saat pembagian itu pula harta tersebut sudah berpindah pemilik. Begitu dibagikan, harta hibah tersebut sudah bukan lagi milik yang memberi hibah, tetapi secara sah dan resmi telah menjadi milik orang yang diberi hibah.
Agar
sebuah hibah menjadi sah dan tidak berpotensi menimbulkan konflik di masa
mendatang, maka haruslah dipenuhi syarat-syarat berikut:
1.
Surat Pernyataan Hibah
Orang yang akan memberikan hartanya kepada orang lain sebagai hibah harus menandatangani surat pernyataan di atas kertas bermaterai. Di atas pernyataan itu dijelaskan jenis hartanya, nilainya, dan kepada siapa pemberian itu ditujukan.
Orang yang akan memberikan hartanya kepada orang lain sebagai hibah harus menandatangani surat pernyataan di atas kertas bermaterai. Di atas pernyataan itu dijelaskan jenis hartanya, nilainya, dan kepada siapa pemberian itu ditujukan.
Selain
itu, pernyataan itu harus mendapatkan persaksian dari pihak lain yang dipercaya.
Dan terutama sekali juga harus ditandatangani oleh para calon ahli waris si
pemberi hibah agar tidak muncul masalah di kemudian hari.
Jadi
agar hibah tidak menimbulkan konflik, surat pernyataan harus dibuat secara sah
dan resmi.
2.
Pengurusan Surat Kepemilikan
Setelah surat pernyataan hibah ditandatangani oleh semua pihak yang terkait,selanjutnya harus dilengkapi pengurusan surat bukti kepemilikan atas suatu harta.
Setelah surat pernyataan hibah ditandatangani oleh semua pihak yang terkait,selanjutnya harus dilengkapi pengurusan surat bukti kepemilikan atas suatu harta.
Misalnya,
ketika seorang ayah menghibahkan rumah kepada anaknya, maka hibah itu baru sah
dan resmi secara hukum manakala surat-surat kepemilikan atas rumah itu sudah
diselesaikan. Misalnya, sertifikat tanah itu sudah dibalik-nama kepada anaknya.
Apabila
yang dihibahkan berupa kendaraan bermotor, maka STNK dan BPKB harus
dibalik-nama pada saat penghibahan itu.
3.
Penyerahan Harta
Bila harta itu berupa uang tunai, maka baru bisa disebut hibah kalau memang sudah diserahkan secara tunai, bukan sekedar baru dijanjikan.
Bila harta itu berupa uang tunai, maka baru bisa disebut hibah kalau memang sudah diserahkan secara tunai, bukan sekedar baru dijanjikan.
Sebagai
pihak yang diberikan hibah, sebaiknya jangan merasa sudah memiliki harta kalau
harta itu secara fisik belum diserahkan. Kalau baru sekedar omongan, janji,
keinginan, niat dan sejenisnya, harus disadari bahwa semua itu belum merupakan
pemindahan kepemilikan.
C.
Wasiat
Ada sebagian orang yang menjanjikan bila nanti dirinya meninggal dunia, maka harta-harta yang dimilikinya akan diserahkan kepada si fulan dan si fulan. Inilah yang disebut dengan istilah wasiat.
Ada sebagian orang yang menjanjikan bila nanti dirinya meninggal dunia, maka harta-harta yang dimilikinya akan diserahkan kepada si fulan dan si fulan. Inilah yang disebut dengan istilah wasiat.
Namun
agar wasiat ini menjadi sah dan resmi secara hukum, ada syarat dan
ketentuannya.
1.
Penerima wasiat bukan ahli waris
Syariat Islam telah mengharamkan para ahli waris menerima wasiat dari orang yang mereka warisi. Hal itu ditegaskan oleh dalil-dalil syar’i bahwa:
“Tidak ada wasiat bagi ahli waris”
Mengapa ahli waris tidak berhak untuk menerima harta lewat wasiat? Karena para ahli waris telah menerima harta lewat warisan, dan harta dari warisan sudah menjamin bahwa ahli waris itu menerima harta. Dia tidak perlu lagi menerima harta lewat wasiat.
Syariat Islam telah mengharamkan para ahli waris menerima wasiat dari orang yang mereka warisi. Hal itu ditegaskan oleh dalil-dalil syar’i bahwa:
“Tidak ada wasiat bagi ahli waris”
Mengapa ahli waris tidak berhak untuk menerima harta lewat wasiat? Karena para ahli waris telah menerima harta lewat warisan, dan harta dari warisan sudah menjamin bahwa ahli waris itu menerima harta. Dia tidak perlu lagi menerima harta lewat wasiat.
2.
Nilai wasiat maksimal 1/3 dari total nilai harta
Haram bagi seseorang untuk berwasiat dengan seluruh hartanya. Dan hal itu terjadi di masa Rasulullah SAW. Seorang sahabat Nabi yang bernama Sa’ad bin Abi Waqqash berniat untuk mewasiatkan 2/3 hartanya. Maksudnya, apabila dirinya nanti meninggal dunia, 2/3 dari harta yang dimilikinya akan diserahkan ke baitulmal (rumah zakat).
Haram bagi seseorang untuk berwasiat dengan seluruh hartanya. Dan hal itu terjadi di masa Rasulullah SAW. Seorang sahabat Nabi yang bernama Sa’ad bin Abi Waqqash berniat untuk mewasiatkan 2/3 hartanya. Maksudnya, apabila dirinya nanti meninggal dunia, 2/3 dari harta yang dimilikinya akan diserahkan ke baitulmal (rumah zakat).
Mendengar
niatnya, Rasulullah SAW melarangnya. Sehingga Sa’ad mengurangi jumlah nilai
yang akan diinfaqkan menjadi separuhnya. Namun lagi-lagi Rasululullah SAW
melarangnya. Terakhir, shahabat yang dermawan ini mengatakan kalau begitu
bagaimana dengan 1/3nya?
Rasulullah
SAW kemudian berkata, “Ya, sepertiga saja. Dan sepertiga itu cukup besar
(banyak).”
Maka
para fuqaha dengan berlandaskan kepada dalil ini menyimpulkan bahwa nilai
wasiat itu maksimal adalah 1/3 dari nilai total harta yang dimiliki. Sisanya
yang 2/3 (duapertiga) menjadi hak para ahli waris.
Seperti
juga dalam hal hibah, maka wasiat ini baru sah dan resmi serta berkekuatan
hukum manakala syaratnya sudah terpenuhi.
Semua
berkas mulai dari pernyataan penyerahan harta sebagai wasiat, lembar-lembar
persetujuan dari pada ahli waris, dan berkas-berkas lainnya, sebaiknya disahkan
oleh notari.